Masih teringat masa – masa dimana kita masih dengan tampang polos.
Putih abu yang tidak mungkin untuk dilupakan begitu saja. Pagi yang indah
diwarnai dengan sedikit senja. Mengingatkanku dengan masa – masa indah itu. Rumah
yang berada di Kanoman Tengah. Dimana harus bangun lebih pagi untuk bersiap –
siap pergi sekolah. Dengan kerudung putih, baju kemaja putih dengan logo di
lengan kiri, rok span berwarna abu
dan sepatu convers dengan kaos kaki panjang. Dibekali makan dan minum, sudah
seperti anak TK yang masih dibekali makan ke sekolah.
Perlu beberapa menit untuk jalan ke depan dan menunggu di pinggir
jalan. Menunggu? Ya tentunya menunggu angkot yang lewat. Naik angkot yang
memakan waktu kurang lebih dua puluh menit menuju sekolah dengan macetnya jalan
karena kereta, lampu merah ataupun supir angkot yang menunggu penumpang. Sampai
aku tau supir angkot yang cepat, biasa dan lama. Dilihat satu per satu orang –
orang yang disekitarku tentunya didalam angkot, berbagai aktivitas yang mereka
lakukan. Ada yang merokok, mendengarkan lagu, membaca, ngobrol, adapun dengan
asik memainkan handphone nya. Ya
termasuk aku. Berbagai macam seragam yang mereka pakai sesuai dengan sekolah
nya masing – masing.
Dengan cukup mengeluarkan uang 2.000 rupiah aku bisa sampai di depan
sekolah yang berada di jalan Dr. wahidin.
Sekolahku SMAN 6 Cirebon yang bersampingan dengan SMPN 5 dan SMAN 1. Cat
yang berwarna hijau membuat mata sejuk. Lantai dua kelasku berada, ya kelas
satu tentunya. Tampang polos, teman baru yang belum bisa aku beradaptasi. Teman
dekatku saat itu hanya Lavia, Yani dan Ariesta. Dari sekian adanya demo
ekstrakulikuler hanya Paskibra yang aku minati. Keren. Dari situ aku mulai bisa
beradaptasi dan memiliki teman banyak. Ditambah lagi ada saudaraku yang bernama
Akbar.
Panas. Cape. Ya memang itu resiko mengikuti Paskibra. Setiap hari
senin mendapat giliran untuk tugas upacara bendera. Hari Jumat latihan gerakan
- gerakan dari jam satu sampai jam lima. Aku masih ingat, di Paskibra aku
menjadi penjuru kedua yang paling pendek. Kulit coklat gosong sudah seperti
orang timur.
Satu tahun berlalu, dan akhirnya aku naik ke kelas dua. Aku mendapatkan
kelas IPA 5, satu kelas lagi dengan Yani teman sebangku sekarang, dengan wali
kelasnya yang biasa dipanggil mamih Yulia. Guru Bahasa Inggris yang kecil imut,
berkacamata, juga centil seperti ABG. Dengan guru baru dan pelajaran yang semakin
sulit. Tetapi, sekarang aku tidak seperti dulu lagi yang sulit untuk
beradaptasi. Dengan absen yang selalu paling terakir. Dengan panggilan “Oci”
atau “Ocil” yang entah itu siapa yang pertama memanggilku seperti itu. Ocil? Ya
bocah cilik.
Teman baikku yang kita namai kepompong yang didalam nya ada
Sembilan orang, termasuk aku, Ade, Ester, Feitri, Leni, Mila, Syiz, Wuri dan Yani.
Yang biasanya sehabis sekolah telah usai kami tidak langsung pulang ke rumah tetapi,
kita diam dikelas untuk memanfaatkan wi-fi
atau kita main ke kosan dan terkadang ke Grage Mall atau CSB sampai sore.
Bulan November. Ya saat aku kelas tiga aku jatuh sakit, sampai dua
minggu tidak masuk sekolah dengan berbagai penyakit yang
menyerang. Sudah seperti mayat hidup. Handphone berdering. Ternyata itu wali
kelasku yang bernama Ibu Aminah guru sejarah, wajahnya memang terlihat galak
tapi aslinya tidak. Dia menanyakan kondisiku dan kapan aku bisa masuk sekolah
lagi. Karena waktu itu sedang UAS semester satu sehingga aku mengerjakan soal ulangan
sendiri di kantor dengan banyak guru yang berlalu lalang. Kondisiku yang belum
sepenuhnya sembuh aku paksakan untuk kuat. Tentunya aku bisa.
Awal tahun 2014 yang disibukkan dengan pengayaan. Sebenarnya
pengayaan sudah dimulai dari bulan September dengan lima kali Try Out. Capek. Namanya juga kelas tiga
wajar saja kalau capek, sudah terbiasa jugakan dari kelas satu sampai sekarang dipenuhi
tugas – tugas ditiap harinya jadi, jangan heran. Bulan Maret yang sudah disibukkan
dengan ujian praktik. Menghapalkan KTI Indonesia yang halamannya tidak bisa
dihitung dengan jari dan juga harus hapal diluar kepala sampai-sampai mulut
berbusa. Yang lebih mengenakan adalah praktik seni dengan drama, juga praktik
Bahasa Jepang yang dibagi dengan beberapa kelompok dan menampilkan drama pula dengan
percakapan yang sudah dipelajari.
April. Bulan yang di takutkan semua siswa. UN? Bulan yang tidak
bisa main – main lagi, tidak bisa main sore ataupun malam.
Selepas ujian sembari menunggu pengumuman – pengumuman. Seminggu
dua kali biasanya aku menginap dirumah atau kosan teman. Main? Tentunya seperti
biasa pergi ke surabi Kartini yang sudah seperti tempat tongkrongan atau
angkringan beserta teman laki-lakiku. Pulang sekitar jam sebelas malam,
tentunya tidak kerumah, pintu pasti sudah di kunci.
Masih teringat satu hari sebelum praktik renang aku latihan renang
di hotel depan sekolah dari jam lima sampai dengan jam delapan malam, sampai
angkutan umum tidak ada. Terpaksa aku jalan sampai depan Grage Mall kemudian
dilanjutkan dengan naik becak. Dengan tampang capek aku langsung pergi ke
kamar. Dipaksa untuk makan. Karena sudah tahu aku susah makan. Malas tapi, aku
paksakan. Makan? Sepintas teringat Bidar. Bidar? Salah satu tempat yang berada
di kantin sekolah, tempat itu selalu penuh sesak oleh anak – anak hingga harus
berdesak – desakan, hal tersebut sama seperti ke Babeh suami bidar yang jualan
cemilan juga es, yang setiap istirahat aku beli kopi dan oreo. Sudah terbiasa
aku meminum kopi.
Aku merindukan mereka. Rindu dengan guru – guru di sekolah yang hampir
semua mengenaliku. Tidak hanya guru yang mengenaliku dengan yang berjualan di
kantin atau pun pedagang depan sekolah pun kenal denganku. Entah kenapa apa
mungkin namaku yang mudah diingat atau sering aku membeli pada jajanan di kantin
atau karena aku sering jail. Aku tak peduli, yang pasti aku merindukan mereka
semua.
Komentar
Posting Komentar